09/08/15

Jimi: All Is by My Side (2013)




Salah satu film biopic musik yang menurut saya sangat nekad. Sutradara John Ridley berniat menggambarkan kisah hidup dewa di antara dewa gitar, James Marshall Hendrix (lahir sebagai Johnny Allen Hendrix di Seattle, 27 November 1942). Jimi Hendrix, nama panggungnya, seorang pionir gitaris-vokalis blues rock yang sekaligus berhasil mendefinisikan sound gitar kotor di zamannya. Tak hanya itu, penampilannya yang magis dan energik di festival Woodstock 1969 berhasil mentahbiskan namanya sebagai salah satu ikon dari kaum hippies -- gerakan ekspresif antiperang Vietnam yang mempromosikan gaya hidup bebas dengan bercinta bebas, bersenang-senang, menghisap ganja dan mengkonsumsi substansi terlarang.

André Benjamin adalah pria yang beruntung (atau terkutuk) memerankan Sang Flamboyan di film ini. Salah satu rapper dalam kolektif Outkast ini memang memiliki wajah yang lumayan mirip dengan Jimi. Gerak-gerik beliau dalam memperkosa gitar di atas panggung juga berhasil ditirukan oleh Andre, meskipun ia masih terlihat canggung berpura-pura bermain gitar dengan kidal. Sayang dalam film ini tak ada satupun musik asli Jimi Hendrix yang dimainkan karena terbentur masalah hak cipta. Semua scoring dan original soundtrack dikerjakan oleh Waddy Wachtel dan Danny Bramson, dengan vokal dari André. Menurut wawancara dengan Waddy Wachtel yang pernah saya baca, ia mengerjakan seluruh musik dalam film ini dengan pendekatan mengemulasikan musik yang kira-kira akan Jimi mainkan dalam situasi-situasi tertentu. Saya sendiri tidak terlalu kecewa, meskipun tentu sentuhan tangan khas Jimi tidak akan tergantikan -- dengan gitar, efek, dan amplifier yang sama sekalipun.

Film ini diawali dengan pemandangan belakang panggung suatu konser di Saville Theater, London, tahun 1967, di mana Jimi sedang berbaring sambil menghisap rokok di samping gitar Flying V bercorak psikedelianya yang terkenal. Tak jauh darinya sebuah televisi tengah menyiarkan wawancara Jimi oleh seorang wartawan wanita tentang perjalanan karirnya yang sedang melejit cepat bak roket. Lalu adegan kembali berbalik arah setahun ke belakang, menyeberangi Samudera Atlantik, ke sebuah klub kecil di New York tempat Jimi masih bermain sebagai gitaris untuk Curtis Knight and The Squires.

Malam itu penampilan Jimi memukau seorang Linda Keith (diperankan oleh Imogen Poots), yang tak lain adalah pacar dari Keith Richards (diperankan oleh Ashley Charles), gitaris The Rolling Stones. Setelah penampilan The Squires selesai, mereka berdua berkenalan. Sambil mengenalkan Jimi pada obat terlarang baru, Linda memuji penampilannya dan mendorongnya untuk memainkan musiknya sendiri, bersolo karir.

Singkat cerita Jimi dikenalkan dengan Chas Chandler (diperankan oleh Andrew Buckley) , mantan bassist The Animals, salah satu dari band-band Inggris seangkatan yang semua ingin menyerupai The Beatles. Chas yang sudah bosan bermain band ingin memulai karirnya sebagai seorang manager musisi, dan Jimi sebagai talent-nya, memulai perjalanan mereka dengan pindah ke London.

Ada dua momen musik bersejarah, sekaligus adegan favorit saya, yang berhasil digambarkan oleh sutradara John Ridley. Yang pertama adalah momen ketika Jimi Hendrix bersama Chas Chandler mengunjungi London Polytechnic di mana malam itu dewa Eric Clapton (diperankan oleh Danny McColgan) bermain sebagai gitaris Cream. Chas, yang juga teman Eric, diminta Jimi untuk menyampaikan rasa kagumnya sekaligus permohonan untuk jamming bareng sebagai seorang fan berat. Lobi Chas berhasil. Jimi dengan antusias membawa gitar Fender Stratocaster putihnya ke atas panggung. Ia berinisiatif untuk memainkan nomor "Killin' Floor" dari Howlin' Wolf. Eric yang sebenarnya tak menguasai lagu itu merasa dilecehkan dan memilih mundur ke belakang panggung. Sementara itu, Jimi bersama Cream masih bermain menguasai panggung malam itu dan sekaligus mengenalkan publik London pada seorang idola baru. Di belakang panggung Eric dengan penuh kekecewaan berkata pada Chas, "You never told me he was that good."

Momen kedua, yang sekaligus menjadi adegan klimaks film ini, adalah ketika setting kembali maju ke tahun 1967, di Saville Theater, London, di mana diperlihatkan Paul McCartney (diperankan oleh Ger Duffy) dan George Harrison dari The Beatles hadir di antara penonton. Pertunjukan malam itu diadakan oleh Brian Epstein, manajer The Beatles, sekaligus pemilik gedung tersebut. Yang selanjutnya terjadi tidak akan pernah ada dalam sejarah jika bukan karena Jimi Hendrix. Ia membawa sebuah piringan hitam kepada dua kawan pengiringnya di The Jimi Hendrix Experience, bassist Noel Redding (diperankan oleh Oliver Bennett) dan drummer Mitch Mitchell (diperankan oleh Tom Dunlea). Rekaman itu tak lain adalah Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band milik The Beatles yang baru dirilis dua hari sebelumnya. Sang gitaris-vokalis mengarahkan band-nya untuk mempelajari title track dari album tersebut dan berencana membawakannya kali itu. Tentu saja yang paling membuat bulu kuduk merinding saat melihat rekonstruksi The Jimi Hendrix Experience memainkan lagu "Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band" di atas panggung dan mempersembahkannya untuk penonton spesial, empunya lagu itu sendiri. Di akhir lagu pertama yang dibawakan tersebut, mereka sudah berhasil membuat seluruh penonton melakukan standing ovation. Termasuk di dalamnya dua Beatles yang hadir malam itu. Sang legenda hidup, Paul McCartney pernah berkata dalam suatu wawancara tentang momen ini, "The curtains flew back and he came walking forward playing 'Sgt. Pepper'. It's a pretty major compliment in anyone's book. I put that down as one of the great honors of my career."

Selain film ini, kebetulan saya menonton beberapa biopic akhir-akhir ini. Di antaranya, Theory of Everything yang menggambarkan perjalanan hidup Stephen Hawking, A Beautiful Mind (John Nash), dan The Imitation Game (Alan Turing) -- yang kebetulan ketiganya adalah seorang ilmuwan. Saya menyimpulkan sesuatu dari film-film ini. Yaitu sebenarnya di balik keberhasilan orang-orang hebat yang kita lihat di permukaan, selalu ada lubang besar dalam hidup mereka. Dalam hidup Jimi Hendrix, ia sangat kehilangan sosok ibu. Ibunya meninggal setelah bercerai dengan ayahnya. Ia tumbuh sebagai sosok yang keras kepala dan penyendiri. Hal ini yang membuatnya sering berganti pasangan wanita. Di balik musiknya yang menginspirasi, keahlian bermain gitar yang mencengangkan, teknik yang unik, aksi-aksi akrobatik, pembakaran gitar, dan karir hebatnya yang singkat (ia meninggal di usia 27 tahun), ada rasa kesendirian yang tentunya tidak akan dapat dimengerti orang lain.

Jimi memang seorang sosok yang tidak menikmati hidup berbaur dengan orang lain -- hal ini menjadikan Jimi seorang musisi yang unik dan terkesan eksklusif. Ia juga tidak mudah percaya pada orang lain. Bahkan pada perlawanan kulit hitam terhadap kulit putih yang dilontarkan oleh Michael X, seorang aktivis Black Power yang ia temui. Ia lebih percaya pada kekuatan cinta yang menurutnya selalu berhasil menyatukan seluruh kehendak manusia di muka bumi dan menyingkirkan segala kejahatan. "When the power of love overcomes the love of power the world will know peace," ujarnya. Selain itu, ia juga percaya akan adanya alien, yang menurutnya akan turun ke bumi di masa depan untuk menyelamatkan manusia dari keterpurukan. Pemikiran-pemikirannya yang liar, bebas, dan mandiri ini tercermin pada permainan gitarnya yang sangat berjiwa. Blues yang ia mainkan tidak seperti blues yang dikenal sebelumnya. Sekuat apapun usaha seorang gitaris, ia tak akan pernah bisa memainkan gitar seperti cara Jimi. Saya, yang juga bermain gitar, tidak bermaksud membuat tulisan ini terkesan sangat teknis. Namun Anda akan tahu maksud saya saat melihat video ini.