13/12/18

Kesempatan Menulis Lagi

Alhamdulillah, sejak Mei 2018 lalu saya bergabung di Indonesian Institute for Energy Economics (IIEE) sebagai junior researcher. Pekerjaan ini ditakdirkan datang kepada saya dari jalan yang tidak diduga-duga. Saat itu medio bulan Maret 2018, saya berniat datang ke Taman Ismail Marzuki untuk menonton pemutaran film Tengkorak di Kineforum sekaligus bertemu dengan Ofek yang berencana datang ke Ma'iyahan Kenduri Cinta malam harinya. Entah apa yang membuat saya masih malas pulang dari sana, tapi setelah beberapa jam mengobrol dengan Ofek, datanglah Mas Putu, seorang senior di Loedroek ITB dan kebetulan juga bekerja di IIEE. Selanjutnya bisa ditebak, basa basi kami berbuah tawaran lowongan pekerjaan ....

Paragraf di atas hanya basa basi. Sebenarnya saya cuma ingin mengumpulkan tautan-tautan artikel yang saya tulis untuk website IIEE selama saya bekerja di sini, kok. Monggo klik tautan-tautan di bawah untuk membaca:

http://iiee.or.id/2018/12/13/iiee-facilitates-unescap-workshop-on-sustainable-development-goals-no-7/

http://iiee.or.id/2018/09/27/shell-indonesia-dan-iiee-roadshow-ke-3-kampus-itb-its-dan-ui/

http://iiee.or.id/2018/08/02/bersatunya-para-pengelola-pltmh-se-solok-selatan/

http://iiee.or.id/2018/07/25/iiee-joining-training-week-programme-of-energy-efficiency-training-week-for-southeast-asia-iea-energy-efficiency-in-emerging-economies/

http://iiee.or.id/2018/07/16/secercah-cahaya-untuk-sudut-barat-sumatera-bagian-2/

http://iiee.or.id/2018/07/13/secercah-cahaya-untuk-sudut-barat-sumatera/


05/04/18

[Review Film] PARTIKELIR - Menonton Mbak Aurelie


PARTIKELIR (7/10)

Sutradara:      Pandji Pragiwaksono
Pemeran:        Pandji Pragiwaksono, Deva Mahenra, Aurelie Moeremans
Durasi:            97 menit
Produksi:        Starvision Plus
Genre:             Komedi aksi



Sinopsis

Adri (diperankan Pandji Pragiwaksono) seorang detektif swasta partikelir ecek-ecek, didatangi oleh Tiara (Aurelie Moeremans) yang ingin mengungkap dugaan perselingkuhan ayahnya. Tak disangka penyelidikan kasus ini menuntut Adri mencari sebuah barang haram yang bernama dagang 'rantau'. Merasa butuh partner karena pertama kali mendapat kasus serius, Adri membujuk Jaka (Deva Mahenra), seorang pengacara sekaligus kawan masa sekolah Adri yang pernah sama-sama terobsesi menjadi detektif.

Cerita (7/10)
Film karya pertama
Pandji ini berawal dari obsesi pribadinya pada film-film detektif/buddy cop seperti Bad Boys dan Rush Hour, subgenre yang masih belum banyak diulik di perfilman Indonesia. Influence film-film tersebut sangat terlihat dari perbedaan karakter Adri dan Jaka sebagai partner yang (berusaha) ditunjukkan. Adegan mencoba pil narkotika juga sangat jelas mengambil referensi dari 21 Jump Street. Sayang sekali kasus yang diungkap terlampau sederhana. Adegan monolog pengungkapan kasus yang biasanya ditunggu-tunggu penggemar kisah detektif pun absen dari film ini. Ada 2 alasan yang mungkin untuk hal ini: 1) keterbatasan penulisan; atau 2) keterbatasan skill dan tuntutan job Adri sebagai detektif medioker. Nevertheless, banyak pesan moral (seperti isu gender, korupsi, hubungan mesra selebritis-narkoba, masyarakat Indonesia yang terbiasa menunggu satria piningit) dan opini pribadi Pandji (e.g. legalisisasi ganja, pilkada Jakarta) yang secara sadar disisipkan sepanjang film.


Penyutradaraan (6/10)
Noob. Flow cerita lama panas, mungkin karena terganjal banyaknya sumpalan komedi. Saya dibuat menunggu sampai 2/3 film untuk mendapat pace yang cepat. Beberapa eksekusi komedi masih kagok, banyak potensi gerr
r yang kurang dimaksimalkan. Porsi action juga masih terlihat seperti tempelan saja. Semoga film-film berikutnya bisa jadi ajang eksplorasi bagi Pandji sebagai sutradara baru.


Komedi (8/10)
Pandji memang bukan komedian terlucu di Indonesia. Banyak
nya pengulangan joke tentang ‘pentil juga belum mampu mengusik urat tawa. Oleh karena itu, saya paham mengapa Pandji mengajak banyak comic untuk menyumbang satu-dua beat di sana-sini.. Salah satu favorit saya adalah beat 'Go-Food' yang dibawakan duo dark comedy dari MLI, Tretan-Coki featuring Gilbhas dan Deva. Satu yang perlu disayangkan adalah terlalu banyaknya penggunaan joke komikal yang mengandalkan cara bicara (seperti dibawakan Agung Hercules, Choky, dan Eppy Kusnandar).


Cast (
7/10)
Versi bercanda:
Ketika saya ditanya siapa bintang utama film ini, saya punya 3 nama: Aurelie Moeremans, Aurelie Moeremans, Aurelie Moeremans. Mbak ayu yang sayangnya sudah di-booking oleh Dave Grohl-wannabe (baca: Ello) ini sukses membuat baper sejak mengajak Soleh Solihun nonton konser Slank di film Mau Jadi Apa?. Tapi akting terbaik di film ini adalah kemunculan aktor favorit saya: Arief Didu alias Cak Jon.
Versi beneran:
Highlights: Cok Simbara (sebagai Ayah Tiara, pengedar pil rantau) dan Tio Pakusadewo (sebagai Kepala Lembaga Narkotika Nasional)
Lowlights (baca: peran mubazir dan gagal lucu): Agung Hercules (seperti biasa, jadi bodyguard memble), Choky, Gerry (diperankan Ardit), Roy Tarmin (plesetan dari Roy Marten, diperankan Gading Marten)


Overall
Jangan ditonton kalau kamu berekspektasi ini adalah film detektif seperti
kisah-kisah Sherlock Holmes atau bahkan action. Komedi dan nama-nama stand-up comedian yang muncul keroyokan masih menjadi jualan utama, hampir sama seperti Comic 8. Untuk mendapat impact maksimum, saya sarankan kamu menonton Partikelir sambil sedikit berpikir. Terlalu banyak joke, opini, dan kekesalan pribadi Pandji di film ini dan sepertinya ia berharap semuanya tersampaikan kepada penonton. Saya pribadi tidak pernah mengagumi Pandji sebagai komedian. Tapi sebagai seniman lumayan idealis yang dibarengi upaya marketing serta branding yang handal, usahanya membuat saya penasaran akan film ini patut diacungi dua jempol. Filmnya pun turns out sangat menghibur untuk seorang sutradara baru. Ditunggu film berikutnya, Bang!

12/03/18

[Review Film] TENGKORAK - Proyek Nekat Pak Dosen



Judul: Tengkorak
Tahun: 2018
Sutradara: Yusron Fuadi
Pemeran: Eka Nusa Pertiwi, Yusron Fuadi, Guh S. Mana
Nominasi Best Science Fiction, Fiction, or Thriller di Cinequest Film Festival 2018, Amerika Serikat (sumber: The Jakarta Post).

----

Bosan menghadapi rutinitas makan-tidur-nelek-laptop di apartemen, saya memutuskan mencari hiburan baru dengan mencari informasi bioskop alternatif di Jakarta. Saya teringat pada Kineforum yang sudah saya follow di Instagram. Setelah lumayan lama membongkar website dari bioskop tersebut saya menemukan satu judul film yang akan diputar, yang sangat menarik perhatian saya: Tengkorak.
Selain judulnya yang cukup membuat tengkuk merinding, deskripsi dan trailer film ini yang dipajang di website Kineforum juga cukup membuat penasaran.


Rupanya Tengkorak adalah proyek ambisius seorang dosen untuk membuat sebuah film science fiction dengan setting Indonesia. Oke, sampai di sini saya berekspektasi film ini akan gokil dan penuh dengan bumbu kearifan lokal.

Yusron Fuadi, 35 tahun, sang sutradara sekaligus penulis film ini memang saat ini masih berprofesi sebagai dosen di Sekolah Vokasi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ini adalah film panjang (feature film) pertamanya, setelah sebelumnya menyutradarai film pendek berjudul Sang Pendekar Kesepian.

Mengambil latar belakang peristiwa gempa Jogja 2006

Tengkorak dibuka dengan sedikit saduran dari peristiwa nyata di Yogyakarta yang baru saja dilanda musibah gempa bumi tahun 2006. Pemerintah Indonesia menyatakan gempa tersebut adalah bencana nasional. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa setelah kejadian gempa tersebut ditemukan serangkaian tengkorak (rangka manusia) raksasa berukuran 1.850 meter di Bantul, Yogyakarta. Sebuah video yang tersebar luas di internet juga membocorkan bahwa telah dibangun fasilitas penelitian yang dijaga ketat oleh tentara di sekitar situs penemuan tengkorak tersebut.

Setelah beberapa lama merasa tidak ada gunanya lagi untuk berpura-pura, pemerintah memutuskan untuk membuka rahasianya pada rakyat Indonesia. Balai Penelitian Bukit Tengkorak (BPBT, bukan BPPT hehe) adalah jawaban dari desas-desus yang ramai diperbincangkan masyarakat selama ini. Fasilitas penelitian ini dibangun pemerintah Indonesia dengan bantuan beberapa negara lain.

Bagian awal film ini kebanyakan diisi dengan cuplikan berita dan wawancara dari berbagai stasiun televisi di seluruh dunia. Di sini Pak Dosen berusaha melebur batas antara sci-fi dan dokumenter. Seperti saya duga, unsur-unsur kearifan lokal banyak sekali dimasukkan di sini. Favorit saya adalah wawancara penjual makanan serta adegan bapak-bapak nonton berita di TV warung. Dialog seperti “Jebule mung ngono thok!” dan “Telek!” sudah siap mengisi porsi komedi sejak menit-menit awal.

Romansa pembunuh bayaran dan gadis kementhu

Belasan tahun kemudian (2021), Ani (diperankan Eka Nusa Pertiwi), seorang mahasiswi manis yang baru masuk magang di BPBT untuk memenuhi kebutuhan uang kuliahnya, berjumpa dengan seorang profesor di BPBT bernama Philip dari Amerika Serikat. Karena kopi yang disajikan di kantin rasanya seperti sampah, sang profesor menyuruh Ani membeli beragam kopi Indonesia di Coffindo (ya, memang iklan).

Di sisi lain, Yos (diperankan pak dosen sendiri), dikisahkan sebagai seorang pembunuh bayaran yang sehari-hari kerjanya main PS di sebuah gudang kemproh sembari menunggu calling-an membunuh dari grup WhatsApp. Tim Kamboja adalah sebuah pasukan pembunuh yang berisi orang-orang biasa dari berbagai kalangan di masyarakat. Kurang jelas diceritakan siapa yang mendanai dan membentuk tim ini. Yang jelas, salah satu target mereka adalah orang-orang yang bekerja di BPBT. Termasuk Ani. Sudah bisa menebak arah ceritanya? Hehe.

Memang di saat bersamaan, pemerintah Indonesia mendapat tawaran menggiurkan dari PBB untuk menutup BPBT dengan imbalan ratusan milyar USD dan dihilangkannya utang luar negeri. Ani mendapat kabar dari rekan kerjanya di BPBT bahwa fasilitas penelitian itu perlahan dikosongkan untuk kemudian didetonasi. Sedikit demi sedikit warga sekitar dievakuasi. Semua peneliti juga diam-diam dibunuh oleh tentara untuk menghilangkan jejak penelitian. Sampai di sini saya belum memahami mengapa Ani yang masih magang dan kerjanya hanya jadi pembantu umum dan membuat kopi untuk para peneliti harus dibunuh.

Layaknya Finn yang membelot dari satuan Stormtroopers dan berjuang bersama Rey di Star Wars: The Force Awakens. Pak dosen, eh, Yos yang jatuh cinta pada Ani menyelamatkannya dari usaha pembunuhan yang dilakukan Mila, salah satu anggota Tim Kamboja, di kos-kosan Ani. Yos lantas membawa Ani pergi jauh dengan motor pinjaman.

Setelah beberapa jam kabur sampailah Ani dan Yos di salah satu dari 32 menara pengawas BPBTMenara itu mungkin setinggi Monas dengan bagian atas berisi 3 tingkat yang berlantai. Dikelilingi hutan lebat, menara itu berfungsi mengintai dan melibas siapapun penyusup yang masuk area terlarang. Di sana tinggallah seorang bapak-bapak tentara sniper mesum (terlihat dari banyaknya poster dan majalah bergambar wanita di kamar menara) bernama Jaka (diperankan pelukis Guh S. Mana). Jaka memang sudah seperti bapak bagi Yos. Mereka bertemu beberapa tahun silam di sebuah kerusuhan demo di Surabaya. Yos, yang saat itu ikut menjadi pasukan nasi bungkus, menyelamatkan Jaka dari hajaran massa. Sejak saat itu Jaka berutang nyawa pada Yos.

Ani masih merasa bingung. Hidupnya memang selamat. Tapi malah dibawa oleh Yos ke dalam masalah yang lebih pelik. Tentu nyawanya masih diincar oleh Tim Kamboja. Begitu pula Yos yang pasti sudah ketahuan membunuh rekan setimnya sendiri demi cinta. Di menara sunyi itu Yos mengaku bahwa ia kesengsem sejak melihat Ani dari atas menara yang hari itu baru masuk magang hari pertama di BPBT.

Rupamu ki kementhu!

Begitulah kira-kira dialog yang masih terngiang-ngiang di telinga saya sampai saat ini. Sebuah ekspresi “aku cinta kamu” yang absurd, tidak sopan, tapi sekali lagi sukses membuat seluruh penonton terpingkal dari mulut seorang pembunuh pada mahasiswi itu. Entah Ani jadi kepincut atau tidak…

Bagian romansa yang panjang ini (sejak Ani diselamatkan, kabur dengan motor, ngobrol sepanjang perjalanan, mampir untuk berduaan di tepi sungai, hingga adegan “rupamu kementhu” di menara) meskipun saya akui apik dan natural, sayangnya sangat mengganggu flow keseluruhan. Saking panjangnya, sampai saya kira Sang Tengkorak tidak akan pernah muncul dan film beralih tentang kisah cinta Yos dan Ani. Mungkin Pak Dosen harusnya sedikit tega dalam tahap editing untuk memotong bagian ini. Atau mungkin perasaan saya saja…

Gelut di menara pengawas

Gagal dibunuh, Ani masih diincar oleh Kamboja yang nekad mendatangi BPBT. Yos yang sudah terlanjur kepalang tresno dengan Ani menghadang mereka dan melakukan negosiasi. Saya akui adegan ini menjadi salah satu favorit saya. Bayangkan negosiasi antara golok dan granat, ditambah 2 sniper masing-masing Om Jaka dari atas dan anggota Tim Kamboja dari bawah menara. Dialog yang digunakan 90% bahasa Jawa disertai pisuhan a la Jogja –yang memang tidak cukup kasar jadi harus ditambah sedikit bumbu Jawa Timur.

Setelah serangkaian negosiasi yang sengit, tawar menawar harga drone, serta adu tembak, Yos beserta beberapa anggota Kamboja yang datang mati terbunuh. Nyawa Ani selamat. Namun bukan berarti Ani bisa tenang. Lek tenang ora dadi cerito.

Sebaliknya, ia semakin bingung apa alasan sebenarnya dari usaha pembunuhan terhadap dirinya. Dari buku catatan yang dibawa Ani ke menara, Om Jaka menemukan serangkaian angka-angka yang ternyata adalah koordinat sebuah tempat penting. Di sinilah petualangan sebenarnya dimulai. Rey menyelamatkan galaksi bersama Han Solo Ani mengejar kebenaran bersama Om Jaka dan satu orang anggota Kamboja insaf yang masih hidup di atas menara.

Koordinat dalam buku catatan itu mengarah pada rumah seorang penulis teori konspirasi gila yang bisa menjawab semua pertanyaan di kepala Ani. Setelah berkonsultasi dan sesi curhat, mereka menemukan fakta bahwa selama ini Ani digunakan Prof. Philip untuk membocorkan informasi rahasia BPBT kepada CIA melalui kegiatan membeli kopi pesanan di Coffindo (iklan lagi). Sebuah sticky note di buku catatan yang selalu diserahkan Ani ke barista ternyata berfungsi sebagai file storage. Mungkin merasa nyawanya terancam, sebelum dibunuh Prof. Philip sempat mengirimkan paket barang kepada penulis itu berisi convertersticky note” tersebut ke USB port. Setelah riset-singkat-cocoklogi-kitab-suci semalam suntuk, terkuaklah rahasia bahwa Ani harus mampu menghentikan detonasi BPBT, atau suatu hal buruk akan terjadi...

Awas, ini spoiler yang HQQ!

Setelah adegan persuasi dan presentasi Ani yang menurut saya terlalu instan, Presiden RI (digambarkan adalah seorang wanita) yang bimbang mengirimkan SMS pada seluruh orang di Indonesia. Isinya? Polling apakah BPBT sebaiknya didetonasi (Andai pemilu semudah ini). Tentu saja hal buruk itu tetap terjadi. Lek ora yo ora dadi cerito.

Benar saja. Setelah BPBT didetonasi, si tengkorak yang terbakar api menyala-nyala bangkit dari tidurnya dan menciptakan kekacauan di seluruh penjuru Indonesia. Adegan akhirnya? Si tengkorak  berperan sebagai malaikat Israfil meniup terompet sangkakala yang berujung akhirnya dunia. Inilah menit-menit akhir di mana semua pertanyaan dan rasa penasaran saya dan penonton lain terjawab. Tengkorak itu ngapain sih? Tengkorak itu seperti apa wujudnya? Semua dijawab di adegan akhir tersebut. 

Terlalu singkat memang. Judul boleh Tengkorak, tapi kemunculan wujud Tengkorak mungkin tidak sampai 10% dari durasi total. Ada dua kemungkinan. Satu, memang ini sengaja dimaksudkan Pak Dosen untuk membuat penonton suspended dan penasaran hingga ujung film. Dua, keterbatasan dana dalam membikin animasi. Entahlah.

Sampai akhir film saya juga masih bertanya-tanya apa sebenarnya penyebab gempa Jogja 2006 itu. Tidak secara gamblang dijelaskan. Tapi saya menduga itulah hari pertama Tengkorak diturunkan dari langit. Sekali lagi: entahlah.

Akhirat terasa dekat

Beragam emosi saya rasakan saat menonton film apokaliptik ini. Bingung, karena banyaknya informasi dan opini yang dicampur baur dari berbagai cuplikan berita dan wawancara “dokumenter”. Saya sempat “hilang arah” di tengah film dan meraba-raba ke mana film ini mengarah. Mungkin juga saya yang lemah, terbiasa dimanja sci-fi ringan seperti Transformers, hehe.

Bahagia, karena komedi dari berbagai dosis yang muncul di sana-sini. Bahagia, melihat kegayengan Om Jaka dan Yos tampak nyata dari dialog yang amat cair.

Penasaran, menunggu muncul dan terkuaknya rahasia Tengkorak hingga ujung film.

Takut, mendengar sangkakala membahana yang ditiup oleh Tengkorak, diikuti layar hitam yang membawa pikiran saya membayangkan hari akhir kelak. Tidak seperti saat menonton film bertema apokalips lain yang dibikin di Hollywood, Tengkorak yang ber-setting Indonesia tahun 2021, yang hanya berjarak 3 tahun dari sekarang, membuat akhirat terasa makin dekat.

Dari segi teknis, saya salut dengan keseriusan pengambilan gambar Tengkorak. Dengan keterbatasan sumber daya, hingga molor-molornya periode syuting hingga 3 tahun, semua adegan dokumenter itu membuat saya kagum. Wawancara-wawancara di televisi itu tampak nyata, dengan semua ahli-ahli dari mancanegara. Setiap adegan yang menggambarkan kerusuhan dan demonstrasi, rupanya diambil dari peristiwa nyata. Dengar-dengar, tim produksi sempat siap memobilisasi massa UGM untuk demonstrasi, namun untungnya di UGM akan ada demonstrasi betulan. Kesempatan-kesempatan langka seperti itulah yang dimanfaatkan untuk mengambil footage, termasuk Aksi 212 lalu. Momen seperti Idul Fitri dan Idul Adha saat jalanan Yogyakarta sedang lengang juga dimanfaatkan untuk adegan jelang detonasi BPBT.

Mengenai menara, saya awalnya percaya menara itu betulan ada. Setelah melihat behind the scene di Instagram, rupanya, menara itu dibangun dari compositing bangunan-bangunan kecil yang direkam di area blue-screen. Masih banyak lagi efek visual yang digunakan dalam film ini, seperti dalam membangun tampak keseluruhan area BPBT dengan miniatur, jejak kaki raksasa, ledakan kantor BPBT, hingga kemunculan Sang Tengkorak sendiri.

Sesi berbincang dengan produser dan ko-produser setelah film semakin membuat saya kagum pada film ini. Pak Dosen Yusron Fuadi memang mempunyai visi yang tegas sejak awal untuk menyelesaikan film ini di tengah kesibukannya. Sekali lagi, dengan keterbatasan sumber daya, keahlian, dan ilmu, ia dan tim produksi berhasil membuat film yang temanya muluk di awang-awang menjadi tampak nyata dan dekat dengan kehidupan kita.

---

Terlepas dari segala kekurangan di sana sini, terutama di bagian editing, overall, saya sangat terkesan. Dan saya berharap kalian juga sempat menonton film ini. Saya dengar, mereka juga berencana memperjuangkan Tengkorak untuk bisa masuk ke bioskop komersial. Semoga secepatnya!

Film ini diputar 9 Maret kemarin sebagai pembuka dari program kerjasama Kineforum dan Kinosaurus (bioskop alternatif lain di Kemang) bertajuk Sejarah adalah Sekarang 9, serangkaian pemutaran film Indonesia dari berbagai era dalam rangka Bulan Film Nasional (Maret) 2018. Tengkorak sendiri masih akan diputar dua kali lagi, yaitu pada 18 dan 26 Maret mendatang. Kunjungi https://www.kineforum.org/single-post/Tengkorak untuk informasi lengkapnya.

09/02/16

RekomeNdasmu #2: Destruction Unit - Negative Feedback Resistor [2015]

Ini salah satu album gratis yang bisa diunduh dari website Adult Swim yang kuceritakan kemarin. Negative Feedback Resistor dari Destruction Unit, unit penghancur dari Arizona yang menghantarkan suara-suara absurd berupa gitar psikedelia penuh feedback, vokal mabuk yang lirih mengawang, bass kotor seirama dram, dan sedikit synthesizer pelengkap nuansa destruktif. Si hipster Pitchfork bilang album ini lebih monoton dibanding album mereka sebelumnya, Void. Entahlah saya sendiri belum mendengarnya. Lebih baik saya nikmati dulu yang satu ini sembari menelan sop kaki kambing dan susu jahe telor.

Tautan unduhan
http://www.adultswim.com/music/destruction-unit/

Destruction Unit
Negative Feedback Resistor
Sacred Bones, 2015 



07/02/16

RekomeNdhasmu #1: Nebucard Nezar

Inginnya sih mulai hari ini menyempatkan mendengarkan satu lagu atau satu artis baru setiap hari, dilanjutkan dengan menulis dan merekomendasikannya via blog ini.

Siang yang cerah nan teduh hari ini mungkin dipesan oleh panitia Hellprint. Mungkin juga dipesan panitia ITB Day. Ya, setelah mengantar rombongan Loedroek main di dua panggung sekaligus hari ini di ITB Day (Aula Timur jam 10 dilanjut Aula Barat jam 12 tadi), mungkin ada baiknya pulang menyendiri dan mengutak-atik laptop sembari mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan. Membikin akun Flickr untuk merapikan arsip-arsip dokumentasi Loedroek, menemukan album kompilasi bagus di website Adult Swim, mengunduh beberapa film, sembari mendengarkan Company Flow (hasil unduhan titipan Tarjo). Namun bukan itu semua yang ingin saya tahbiskan sebagai edisi perdana RekomeNdhasmu. Ada satu judul lagu yang tidak sengaja saya temukan di web unduhan ilegal: “Guik Guik Tanpa Lirik (Dangdut Death Metal)”. Band nggatheli ini bernama Nebucard Nezar (ya sudah jelas, pelintiran dari Raja Nebuchardnezzar).

Menahbiskan diri sebagai Ngapak Death Metal, band yang bersangkutan ini ternyata juga pernah meng-cover lagu-lagu Rhoma Irama, Didi Kempot, Via Vallen, sampai lagu okult “Tinggal Kenangan” dalam kurung Lagu Gaby. Berikut saya comot satu sampel cover dari Nebucard Nezar dari YouTube. Semoga band dengan duo vokalis jantan dan betina ini bisa mengawal rasa rindu Anda di Minggu long weekend menuju tahun baru Cina esok Senin. Cocok dinikmati sambil minum es garbis dan ngemil asinan mangga. Anyway, selamat menikmati!
  
Nebucard Nezar - "Broken Angel (Arash Cover)


Reverbnation:
https://www.reverbnation.com/nebucardnezar4/

03/02/16

Menulis Musik: #2 Gelegar Itu Bernama Silampukau




Tahun 2013 silam, saya baru saja menjejakkan kaki di Bandung, kota yang penuh sesak dengan kreativitas orang-orang yang tinggal di dalamnya. Kota di mana budaya dan apresiasi berkembang pesat.  Sejuknya seakan menggoda saya untuk mulai berkarya (dan mengonsumsi karya).

Meskipun begitu, tentu saja aroma keringat dan terik matahari di kampung halaman Surabaya masih melekat di ingatan. Memori tentang musik saya di masa sekolah (selain paduan suara tentunya) yaitu pop punk, yang menurut saya sampai kapanpun akan menjadi kawan setia para pecinta di masa muda dan pada usia senja nanti akan menjelma menjadi secuil fase hidup menarik-perhatian-lawan-jenis yang layak diingat. Sebut saja Blingsatan, salah satu pahlawan lokal Surabaya yang menjadi andalan saat gitaran dan nge-band bersama kawan-kawan.

Ingatan lain yang saya bawa dari Surabaya adalah sebuah band bernama Headcrusher. Lima orang serdadu thrash metal yang kala itu (akhir 2013) baru saja merilis sebuah single bertajuk “Molotov”. Single ini masuk dalam sebuah kompilasi Ronascent Compilation Vol. 1, album kompilasi hasil kerja keras sekumpulan anak muda di Ronascent Webzine.

Saat itu saya belum banyak mengerti tentang musisi Bandung-Jakarta, dan hanya berpegangan pada referensi dari Rolling Stone yang belum banyak saya baca. Saya kaget dengan teman-teman saya yang menggemari musik indie yang seakan membuat mereka lebih maju dari saya (nyatanya tidak). Saya masih ingat sore itu ketika mereka berbondong mendatangi konser dirilisnya album Detourn milik The S.I.G.I.T, saya masih belum paham apa bagusnya musik mereka (bahkan sampai saat ini). Namun hal itu membuat saya makin penasaran apa sebenarnya yang membuat mereka sungguh senang dengan skena musik di sana, mencoba menikmati, serta memainkan musik dengan cara saya sendiri.

Singkat cerita setelah bergelut selama 2,5 tahun dengan kuliah, ludruk, dan musik di Bandung, seorang sahabat merekomendasikan sebuah band yang menurutnya sangat layak untuk didengar. Band yang sedang melejit namanya di ranah independen nasional. Gelegar itu bernama Silampukau.

Ya, Silampukau. Sepasang pujangga folk dari Surabaya, dengan gitar di pangkuan mereka, menyanyikan keluh kesah orang pinggiran, tanpa basa-basi bercerita lugas namun tetap puitis. Musik folk memang sudah lama akrab di telinga orang sini (Bandung dan Jakarta). Namun bahasa Silampukau mengingatkan kita pada bahasa Iwan Fals dan Gombloh yang naratif dan menggelitik. Cerita tentang dagangan miras yang tak laku, macetnya bilangan Ahmad Yani Surabaya yang buas, hingga kisah pelacur dan perselingkuhan di celah gang Dolly ada di album mereka Dosa, Kota, dan Kenangan. Semuanya didendangkan tanpa ragu dan tak heran sukses menembus televisi seperti harapan mereka di lagu “Doa 1”. Namun lagu yang paling sukses meruntuhkan pertahanan kuping saya adalah “Puan Kelana”. Rapinya rima dalam paduan bahasa Indonesia dan istilah-istilah Prancis, mengemas kisah kesalnya seorang lelaki yang terpisah dari kekasihnya yang merantau ke negeri Eiffel itu.

Ini yang sudah lama saya nantikan. Gebrakan dari kampung halaman yang membuat semua orang menoleh ke arah timur Pulau Jawa. Sebuah entitas asing yang membuat mereka tersihir. Sajian sederhana dari kota pahlawan tempat saya dilahirkan dan dibesarkan dulu.