29/12/15

Lagu Tergagah Tahun Ini...


...saya sematkan pada “Chlorine & Wine” dari putra-putra Savannah, Georgia, yang tergabung dalam Baroness.

Saya masih ingat malam itu ketika membuka Facebook dan mendapat berita terbitnya single perdana dari album terbaru Baroness yang akan rilis akhir tahun 2015. Masih berupa visualization video, berupa kuadran pertama dari keseluruhan cover album Purple.



Saya masih ingat malam itu ketika membuka Facebook dan mendapat berita terbitnya single perdana dari album terbaru Baroness yang akan rilis akhir tahun 2015. Masih berupa visualization video , berupa bagian pertama dari empat potong keseluruhan cover album Purple.
Lagi-lagi warna menjadi tema yang mereka pilih. Kali ini ungu, melambangkan kelahiran kembali dan kebangkitan dari keterpurukan. Purple adalah rilisan pertama Baroness setelah bis yang mereka tumpangi jatuh dari jembatan setinggi 30 kaki saat tur album Yellow & Green di Inggris tahun 2012 lalu. 

Saat itu kesempatan kedua seakan tak akan pernah datang untuk Baroness. Bassist Matt Maggioni dan drummer Allen Blickle yang menderita retak tulang belakang, lantas memutuskan keluar dari band karena trauma. Sedangkan John Dyer Baizley, sang dedengkot, vokalis sekaligus gitaris, menderita patah lengan dan kaki kiri. Hanya gitaris Pete Adams yang tidak mendapat luka parah.

Setelah masa pemulihan, tur Yellow & Green dilanjutkan dengan personel baru, drummer Sebastian Thomson dan bassist dan multi-instrumentalist Nick Jost. Purple menjadi pembuktian mereka sebagai sebuah tim baru dalam berkarya dan merekam album.

“Chlorine & Wine” sebagai single pertama dengan berhasil menggambarkan itu semua. Tidak terkungkung dalam sludge metal, keraguan mereka bereksperimen dengan sentuhan synthesizer dan ambient terbukti menjadi adonan yang tepat guna di lagu ini. Secara struktural, lagu ini memiliki build up yang apik. Dari intro synthesizer yang berbisik mengawang, diikuti dengan suara petikan gitar minor yang ringan. Solo di awal dibangun dengan suara single coil dari gitar G&L Tribute milik John Baizley dan not-not yang mengingatkan kita pada lagu “Shine on You Crazy Diamond” milik Pink Floyd. Ritem gitar yang serentak dengan gebukan dram Sebastian Thomson yang menghentak, mengiringi vokal yang menyanyikan “When I called on my nursemaid / Come sit by my side / But she cuts through my ribcage / And pushes the pills deep in my eyes”. Kisah tentang masa-masa berat mereka melalui sakit yang amat sangat dan pesimisme pasca kecelakaan.

Seakan menjadi rukun penyempurna untuk lagu Baroness, solo gitar ganda dari Baizley dan Adams tersaji di tengah-tengah lagu yang sekali lagi memainkan not-not Pink Floyd. Diikuti bagian cooling down yang diisi oleh clean guitar dan piano dari sang bassist baru Nick Jost. Kemudian perlahan naik menuju bagian akhir lagu, vokal massal yang diisi keempat personel. Sebuah selebrasi, perayaan atas kebangkitan, dan sebuah pernyataan: “Please / Don’t lay me down / Under the rocks where I found / My place in the ground / A home for the fathers and sons”. Sebuah konklusi yang ingin mereka teriakkan ke seluruh dunia bahwa musik mereka masih ada, dan akan terus ada.

Sungguh lagu yang epic, berpotensi menjadi legendaris di masa akan datang.

Se666an!





30/09/15

Navicula - Tatap Muka (2015)


Beberapa bulan yang lalu Navicula meluncurkan single pertama dari album barunya lewat kanal mereka di Youtube.



Bukan lagu baru ternyata!

Track ini adalah sebuah interpretasi ulang dari "Merdeka" yang sebelumnya pernah dirilis melalui album Beautiful Rebel (2007). (Dengarkan versi aslinya di sini)

Tertarik, dua minggu yang lalu saya membujuk seorang kawan untuk membeli album baru ini saat belanja (terus sampai mati) di Omuniuum. Tentu saja untuk menghemat kocek, asal tetap bisa menikmati dengan menyalin file-nya ke laptop hahaha.

Rilisan anyar mereka ini bertajuk Tatap Muka. Album ini diedarkan melalui format keping DVD, yang di dalamnya juga terdapat tautan untuk mengunduh versi audio dari kedelapan lagunya secara gratis. Beberapa video klip lawas juga disajikan dalam menu extras. Tidak lupa mereka menyisipkan sebuah stiker lingkaran logo Navicula berukuran lumayan besar sebagai bonus (lumayan untuk jadi tempelan di muka laptop). 

Segar dan natural. Dua kata itu yang pertama kali muncul dalam benak saat mendengar aransir ulang "Merdeka" tadi. Sebuah menu baru telah ditambahkan pada katalog musik Navicula. Band yang selalu disebut-sebut sebagai Green Grunge Gentlemen. Lirik-lirik bernafas cinta, perdamaian, protes pada ketidakadilan, dan seringkali kelestarian alam yang dilolongkan oleh Gede Robi (vokal & gitar); selalu berhasil dibungkus apik dengan musik kotor a la Seattle sound oleh bantuan ketiga pria gagah lainnya: Dankie (gitar & vokal latar), Made (bas & vokal latar), dan Gembul (dram). Sebelumnya mereka meluncurkan Love Bomb pada tahun 2013, di mana setengahnya adalah rekam ulang lagu-lagu lama mereka, dan sisanya adalah hasil rekaman nomor-nomor baru mereka di studio Record Plant, Los Angeles sebagai hadiah dari kompetisi yang diadakan sebuah brand microphone ternama, yang diproduseri oleh Alain Johannes (Queens of the Stone Age, Them Crooked Vultures, Eagles of Death Metal).

Merasa sudah cukup puas bereksperimen di Love Bomb, Navicula mencoba mengeksplorasi konsep baru di album ini. Sebuah acoustic live session dengan didampingi oleh musisi-musisi additional, yang direkam di Rumah Topeng Setia Darma, Bali. Mereka yang bertanggung jawab mewarnai usaha pembersihan musik kotor Navicula adalah Affan Latanete (perkusi), Fendi Rizki (contrabass/cello), Windu Estianto (piano), Sony Bono (gitar), serta Sari Sudharsana & Vivi Mambo (vokal latar). Konsep extended band ini mengingatkan saya pada Skin and Bones, sebuah acoustic live concert album dari band terfavorit saya sepanjang masa: Foo Fighters. Saat itu Dave Grohl dan kawan-kawan menyapu bersih semua distorsi gitar dengan bantuan alat-alat musik yang sama.

Album kedelapan ini berisi delapan buah lagu (sama seperti bentuk tubuh penggebuk dram mereka, ujar Made si pembetot bas pada sesi interview yang juga ada dalam DVD). "Merdeka", "Tak Pernah Berubah", dan "Suara Hati" adalah lagu lama, lima sisanya adalah nomor baru.

Lagu pertama bertajuk "Dead Trees", sebuah ode untuk bangkai-bangkai pohon. Navicula menambah satu lagi lagu "hijau", sebagai pesan utama yang selalu mereka suarakan.

Berikutnya, "Is Me", mereka mendendangkan cara hidup tak biasa yang dipilih oleh diri.
Warna keraguan dan kerendahan diri menggelayut di awal saat Robi berkata:
"Eyes on the sky, feet on the ground /I’m just a man, doing what I can."
Musik mengendap-endap pelan, di latar belakang terdengar rengekan cello, diikuti bagian chorus yang sangat berpotensi singalong diisi oleh lirik optimistis "I'm far behind/But where I stop is where I'm meant to be". Salah satu lirik yang akhir-akhir ini sering saya gumamkan sehari-hari.

Diikuti oleh "Tak Pernah Berubah", sebuah lagu rindu yang bergairah.

Track "Merdeka" sendiri ada di urutan empat. Kata kawan saya, petikan gitar a la country di lagu ini dibawa Dankie dari proyek sebelah miliknya, Dialog Dini Hari. Interpretasi ulang yang megah, sentuhan vokal latar dua wanita pada lirik
"...lebih merdeka, karena inilah/Tanggung jawabku, pada hidupku/Hingga kapankah ku terus begini, menanggung malu"
seakan membawa kita berjalan perlahan namun tegap hingga kita mengawang di udara "Ibarat elang, ku harus terbang, ku harus berdiri di kakiku sendiri"
Sederhana nan substansial: kemerdekaan bersikap, bertanggung jawab pada diri dan keindahan berbagi dengan orang lain.

Kelima, "Bekas Luka", sebuah syair untuk penyair Wiji Thukul, nada-nada pengungkit luka perlawanan. Poin yang sama juga telah diteriakkan di "Refuse to Forget", tembang penolak lupa kematian Munir yang ada di album Love Bomb.

Selanjutnya diikuti "Suara Hati", "Mother in Child", dan ditutup oleh "Song in Dagdad", lagu dengan tuning DAGDAD pada resonator guitar yang dimainkan Dangki menggunakan slide, nomor minor blues bertempo cepat yang menemani nyanyian resah Robi tentang cinta dan musik.

Sesuai dengan tajuknya, atmosfer dalam video mengajak kita untuk santai sejenak dari penatnya kehidupan dan bertatap muka dengan Navicula dan kawan-kawan. Suasana bersahabat yang terasa direkam dengan baik oleh Erick Est, sutradara yang juga telah menggarap beberapa video klip mereka sebelumnya. Didukung oleh tata cahaya dan konsep ruangan yang natural di Rumah Topeng Setia Darma, album ini sukses mengenalkan kita pada muka Navicula yang lain. Sebuah rilisan yang unik dan patut untuk diapresiasi (dan tentu saja dibeli!).


***



 


Artis: Navicula
Judul:  Tatap Muka
Tahun rilis: 2015
Produksi: Volcom Entertainment, EST Movies, & Antida Music Production
Sutradara: Erick EST
Rating: 4/5

Daftar lagu:




2. 04:17








4. 04:36




5. 03:09




6. 04:29








8. 04:46

09/08/15

Jimi: All Is by My Side (2013)




Salah satu film biopic musik yang menurut saya sangat nekad. Sutradara John Ridley berniat menggambarkan kisah hidup dewa di antara dewa gitar, James Marshall Hendrix (lahir sebagai Johnny Allen Hendrix di Seattle, 27 November 1942). Jimi Hendrix, nama panggungnya, seorang pionir gitaris-vokalis blues rock yang sekaligus berhasil mendefinisikan sound gitar kotor di zamannya. Tak hanya itu, penampilannya yang magis dan energik di festival Woodstock 1969 berhasil mentahbiskan namanya sebagai salah satu ikon dari kaum hippies -- gerakan ekspresif antiperang Vietnam yang mempromosikan gaya hidup bebas dengan bercinta bebas, bersenang-senang, menghisap ganja dan mengkonsumsi substansi terlarang.

André Benjamin adalah pria yang beruntung (atau terkutuk) memerankan Sang Flamboyan di film ini. Salah satu rapper dalam kolektif Outkast ini memang memiliki wajah yang lumayan mirip dengan Jimi. Gerak-gerik beliau dalam memperkosa gitar di atas panggung juga berhasil ditirukan oleh Andre, meskipun ia masih terlihat canggung berpura-pura bermain gitar dengan kidal. Sayang dalam film ini tak ada satupun musik asli Jimi Hendrix yang dimainkan karena terbentur masalah hak cipta. Semua scoring dan original soundtrack dikerjakan oleh Waddy Wachtel dan Danny Bramson, dengan vokal dari André. Menurut wawancara dengan Waddy Wachtel yang pernah saya baca, ia mengerjakan seluruh musik dalam film ini dengan pendekatan mengemulasikan musik yang kira-kira akan Jimi mainkan dalam situasi-situasi tertentu. Saya sendiri tidak terlalu kecewa, meskipun tentu sentuhan tangan khas Jimi tidak akan tergantikan -- dengan gitar, efek, dan amplifier yang sama sekalipun.

Film ini diawali dengan pemandangan belakang panggung suatu konser di Saville Theater, London, tahun 1967, di mana Jimi sedang berbaring sambil menghisap rokok di samping gitar Flying V bercorak psikedelianya yang terkenal. Tak jauh darinya sebuah televisi tengah menyiarkan wawancara Jimi oleh seorang wartawan wanita tentang perjalanan karirnya yang sedang melejit cepat bak roket. Lalu adegan kembali berbalik arah setahun ke belakang, menyeberangi Samudera Atlantik, ke sebuah klub kecil di New York tempat Jimi masih bermain sebagai gitaris untuk Curtis Knight and The Squires.

Malam itu penampilan Jimi memukau seorang Linda Keith (diperankan oleh Imogen Poots), yang tak lain adalah pacar dari Keith Richards (diperankan oleh Ashley Charles), gitaris The Rolling Stones. Setelah penampilan The Squires selesai, mereka berdua berkenalan. Sambil mengenalkan Jimi pada obat terlarang baru, Linda memuji penampilannya dan mendorongnya untuk memainkan musiknya sendiri, bersolo karir.

Singkat cerita Jimi dikenalkan dengan Chas Chandler (diperankan oleh Andrew Buckley) , mantan bassist The Animals, salah satu dari band-band Inggris seangkatan yang semua ingin menyerupai The Beatles. Chas yang sudah bosan bermain band ingin memulai karirnya sebagai seorang manager musisi, dan Jimi sebagai talent-nya, memulai perjalanan mereka dengan pindah ke London.

Ada dua momen musik bersejarah, sekaligus adegan favorit saya, yang berhasil digambarkan oleh sutradara John Ridley. Yang pertama adalah momen ketika Jimi Hendrix bersama Chas Chandler mengunjungi London Polytechnic di mana malam itu dewa Eric Clapton (diperankan oleh Danny McColgan) bermain sebagai gitaris Cream. Chas, yang juga teman Eric, diminta Jimi untuk menyampaikan rasa kagumnya sekaligus permohonan untuk jamming bareng sebagai seorang fan berat. Lobi Chas berhasil. Jimi dengan antusias membawa gitar Fender Stratocaster putihnya ke atas panggung. Ia berinisiatif untuk memainkan nomor "Killin' Floor" dari Howlin' Wolf. Eric yang sebenarnya tak menguasai lagu itu merasa dilecehkan dan memilih mundur ke belakang panggung. Sementara itu, Jimi bersama Cream masih bermain menguasai panggung malam itu dan sekaligus mengenalkan publik London pada seorang idola baru. Di belakang panggung Eric dengan penuh kekecewaan berkata pada Chas, "You never told me he was that good."

Momen kedua, yang sekaligus menjadi adegan klimaks film ini, adalah ketika setting kembali maju ke tahun 1967, di Saville Theater, London, di mana diperlihatkan Paul McCartney (diperankan oleh Ger Duffy) dan George Harrison dari The Beatles hadir di antara penonton. Pertunjukan malam itu diadakan oleh Brian Epstein, manajer The Beatles, sekaligus pemilik gedung tersebut. Yang selanjutnya terjadi tidak akan pernah ada dalam sejarah jika bukan karena Jimi Hendrix. Ia membawa sebuah piringan hitam kepada dua kawan pengiringnya di The Jimi Hendrix Experience, bassist Noel Redding (diperankan oleh Oliver Bennett) dan drummer Mitch Mitchell (diperankan oleh Tom Dunlea). Rekaman itu tak lain adalah Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band milik The Beatles yang baru dirilis dua hari sebelumnya. Sang gitaris-vokalis mengarahkan band-nya untuk mempelajari title track dari album tersebut dan berencana membawakannya kali itu. Tentu saja yang paling membuat bulu kuduk merinding saat melihat rekonstruksi The Jimi Hendrix Experience memainkan lagu "Sgt. Pepper's Lonely Hearts Club Band" di atas panggung dan mempersembahkannya untuk penonton spesial, empunya lagu itu sendiri. Di akhir lagu pertama yang dibawakan tersebut, mereka sudah berhasil membuat seluruh penonton melakukan standing ovation. Termasuk di dalamnya dua Beatles yang hadir malam itu. Sang legenda hidup, Paul McCartney pernah berkata dalam suatu wawancara tentang momen ini, "The curtains flew back and he came walking forward playing 'Sgt. Pepper'. It's a pretty major compliment in anyone's book. I put that down as one of the great honors of my career."

Selain film ini, kebetulan saya menonton beberapa biopic akhir-akhir ini. Di antaranya, Theory of Everything yang menggambarkan perjalanan hidup Stephen Hawking, A Beautiful Mind (John Nash), dan The Imitation Game (Alan Turing) -- yang kebetulan ketiganya adalah seorang ilmuwan. Saya menyimpulkan sesuatu dari film-film ini. Yaitu sebenarnya di balik keberhasilan orang-orang hebat yang kita lihat di permukaan, selalu ada lubang besar dalam hidup mereka. Dalam hidup Jimi Hendrix, ia sangat kehilangan sosok ibu. Ibunya meninggal setelah bercerai dengan ayahnya. Ia tumbuh sebagai sosok yang keras kepala dan penyendiri. Hal ini yang membuatnya sering berganti pasangan wanita. Di balik musiknya yang menginspirasi, keahlian bermain gitar yang mencengangkan, teknik yang unik, aksi-aksi akrobatik, pembakaran gitar, dan karir hebatnya yang singkat (ia meninggal di usia 27 tahun), ada rasa kesendirian yang tentunya tidak akan dapat dimengerti orang lain.

Jimi memang seorang sosok yang tidak menikmati hidup berbaur dengan orang lain -- hal ini menjadikan Jimi seorang musisi yang unik dan terkesan eksklusif. Ia juga tidak mudah percaya pada orang lain. Bahkan pada perlawanan kulit hitam terhadap kulit putih yang dilontarkan oleh Michael X, seorang aktivis Black Power yang ia temui. Ia lebih percaya pada kekuatan cinta yang menurutnya selalu berhasil menyatukan seluruh kehendak manusia di muka bumi dan menyingkirkan segala kejahatan. "When the power of love overcomes the love of power the world will know peace," ujarnya. Selain itu, ia juga percaya akan adanya alien, yang menurutnya akan turun ke bumi di masa depan untuk menyelamatkan manusia dari keterpurukan. Pemikiran-pemikirannya yang liar, bebas, dan mandiri ini tercermin pada permainan gitarnya yang sangat berjiwa. Blues yang ia mainkan tidak seperti blues yang dikenal sebelumnya. Sekuat apapun usaha seorang gitaris, ia tak akan pernah bisa memainkan gitar seperti cara Jimi. Saya, yang juga bermain gitar, tidak bermaksud membuat tulisan ini terkesan sangat teknis. Namun Anda akan tahu maksud saya saat melihat video ini.