Alhamdulillah, sejak Mei 2018 lalu saya bergabung di Indonesian Institute for Energy Economics (IIEE) sebagai junior researcher. Pekerjaan ini ditakdirkan datang kepada saya dari jalan yang tidak diduga-duga. Saat itu medio bulan Maret 2018, saya berniat datang ke Taman Ismail Marzuki untuk menonton pemutaran film Tengkorak di Kineforum sekaligus bertemu dengan Ofek yang berencana datang ke Ma'iyahan Kenduri Cinta malam harinya. Entah apa yang membuat saya masih malas pulang dari sana, tapi setelah beberapa jam mengobrol dengan Ofek, datanglah Mas Putu, seorang senior di Loedroek ITB dan kebetulan juga bekerja di IIEE. Selanjutnya bisa ditebak, basa basi kami berbuah tawaran lowongan pekerjaan ....
Paragraf di atas hanya basa basi. Sebenarnya saya cuma ingin mengumpulkan tautan-tautan artikel yang saya tulis untuk website IIEE selama saya bekerja di sini, kok. Monggo klik tautan-tautan di bawah untuk membaca:
http://iiee.or.id/2018/12/13/iiee-facilitates-unescap-workshop-on-sustainable-development-goals-no-7/
http://iiee.or.id/2018/09/27/shell-indonesia-dan-iiee-roadshow-ke-3-kampus-itb-its-dan-ui/
http://iiee.or.id/2018/08/02/bersatunya-para-pengelola-pltmh-se-solok-selatan/
http://iiee.or.id/2018/07/25/iiee-joining-training-week-programme-of-energy-efficiency-training-week-for-southeast-asia-iea-energy-efficiency-in-emerging-economies/
http://iiee.or.id/2018/07/16/secercah-cahaya-untuk-sudut-barat-sumatera-bagian-2/
http://iiee.or.id/2018/07/13/secercah-cahaya-untuk-sudut-barat-sumatera/
13/12/18
05/04/18
[Review Film] PARTIKELIR - Menonton Mbak Aurelie
PARTIKELIR (7/10)
Sutradara: Pandji
Pragiwaksono
Pemeran: Pandji
Pragiwaksono, Deva Mahenra, Aurelie Moeremans
Durasi: 97
menit
Produksi: Starvision
Plus
Genre: Komedi aksi
Sinopsis
Adri (diperankan Pandji Pragiwaksono) seorang detektif swasta partikelir ecek-ecek, didatangi oleh Tiara (Aurelie Moeremans) yang ingin mengungkap dugaan perselingkuhan ayahnya. Tak disangka penyelidikan kasus ini menuntut Adri mencari sebuah barang haram yang bernama dagang 'rantau'. Merasa butuh partner karena pertama kali mendapat kasus serius, Adri membujuk Jaka (Deva Mahenra), seorang pengacara sekaligus kawan masa sekolah Adri yang pernah sama-sama terobsesi menjadi detektif.
Cerita (7/10)
Film karya pertama Pandji ini berawal dari obsesi pribadinya pada film-film detektif/buddy cop seperti Bad Boys dan Rush Hour, subgenre yang masih belum banyak diulik di perfilman Indonesia. Influence film-film tersebut sangat terlihat dari perbedaan karakter Adri dan Jaka sebagai partner yang (berusaha) ditunjukkan. Adegan mencoba pil narkotika juga sangat jelas mengambil referensi dari 21 Jump Street. Sayang sekali kasus yang diungkap terlampau sederhana. Adegan monolog pengungkapan kasus yang biasanya ditunggu-tunggu penggemar kisah detektif pun absen dari film ini. Ada 2 alasan yang mungkin untuk hal ini: 1) keterbatasan penulisan; atau 2) keterbatasan skill dan tuntutan job Adri sebagai detektif medioker. Nevertheless, banyak pesan moral (seperti isu gender, korupsi, hubungan mesra selebritis-narkoba, masyarakat Indonesia yang terbiasa menunggu satria piningit) dan opini pribadi Pandji (e.g. legalisisasi ganja, pilkada Jakarta) yang secara sadar disisipkan sepanjang film.
Film karya pertama Pandji ini berawal dari obsesi pribadinya pada film-film detektif/buddy cop seperti Bad Boys dan Rush Hour, subgenre yang masih belum banyak diulik di perfilman Indonesia. Influence film-film tersebut sangat terlihat dari perbedaan karakter Adri dan Jaka sebagai partner yang (berusaha) ditunjukkan. Adegan mencoba pil narkotika juga sangat jelas mengambil referensi dari 21 Jump Street. Sayang sekali kasus yang diungkap terlampau sederhana. Adegan monolog pengungkapan kasus yang biasanya ditunggu-tunggu penggemar kisah detektif pun absen dari film ini. Ada 2 alasan yang mungkin untuk hal ini: 1) keterbatasan penulisan; atau 2) keterbatasan skill dan tuntutan job Adri sebagai detektif medioker. Nevertheless, banyak pesan moral (seperti isu gender, korupsi, hubungan mesra selebritis-narkoba, masyarakat Indonesia yang terbiasa menunggu satria piningit) dan opini pribadi Pandji (e.g. legalisisasi ganja, pilkada Jakarta) yang secara sadar disisipkan sepanjang film.
Penyutradaraan (6/10)
Noob. Flow cerita lama panas, mungkin karena terganjal banyaknya sumpalan komedi. Saya dibuat menunggu sampai 2/3 film untuk mendapat pace yang cepat. Beberapa eksekusi komedi masih kagok, banyak potensi gerrr yang kurang dimaksimalkan. Porsi action juga masih terlihat seperti tempelan saja. Semoga film-film berikutnya bisa jadi ajang eksplorasi bagi Pandji sebagai sutradara baru.
Komedi (8/10)
Pandji memang bukan komedian terlucu di Indonesia. Banyaknya pengulangan joke tentang ‘pentil’ juga belum mampu mengusik urat tawa. Oleh karena itu, saya paham mengapa Pandji mengajak banyak comic untuk menyumbang satu-dua beat di sana-sini.. Salah satu favorit saya adalah beat 'Go-Food' yang dibawakan duo dark comedy dari MLI, Tretan-Coki featuring Gilbhas dan Deva. Satu yang perlu disayangkan adalah terlalu banyaknya penggunaan joke komikal yang mengandalkan cara bicara (seperti dibawakan Agung Hercules, Choky, dan Eppy Kusnandar).
Cast (7/10)
Versi bercanda:
Ketika saya
ditanya siapa bintang utama film ini, saya punya 3 nama: Aurelie Moeremans,
Aurelie Moeremans, Aurelie Moeremans. Mbak ayu yang sayangnya sudah di-booking
oleh Dave Grohl-wannabe (baca: Ello) ini sukses membuat
baper sejak mengajak Soleh Solihun nonton konser Slank di film Mau Jadi Apa?. Tapi akting terbaik di
film ini adalah kemunculan aktor favorit saya: Arief Didu alias Cak Jon.
Versi beneran:
Versi beneran:
Highlights: Cok Simbara (sebagai Ayah Tiara,
pengedar pil rantau) dan Tio Pakusadewo (sebagai Kepala Lembaga Narkotika
Nasional)
Lowlights (baca: peran mubazir dan gagal lucu): Agung Hercules (seperti biasa, jadi bodyguard memble), Choky, Gerry (diperankan Ardit), Roy Tarmin (plesetan dari Roy Marten, diperankan Gading Marten)
Overall
Jangan ditonton kalau kamu berekspektasi ini adalah film detektif seperti kisah-kisah Sherlock Holmes atau bahkan action. Komedi dan nama-nama stand-up comedian yang muncul keroyokan masih menjadi jualan utama, hampir sama seperti Comic 8. Untuk mendapat impact maksimum, saya sarankan kamu menonton Partikelir sambil sedikit berpikir. Terlalu banyak joke, opini, dan kekesalan pribadi Pandji di film ini dan sepertinya ia berharap semuanya tersampaikan kepada penonton. Saya pribadi tidak pernah mengagumi Pandji sebagai komedian. Tapi sebagai seniman lumayan idealis yang dibarengi upaya marketing serta branding yang handal, usahanya membuat saya penasaran akan film ini patut diacungi dua jempol. Filmnya pun turns out sangat menghibur untuk seorang sutradara baru. Ditunggu film berikutnya, Bang!
Lowlights (baca: peran mubazir dan gagal lucu): Agung Hercules (seperti biasa, jadi bodyguard memble), Choky, Gerry (diperankan Ardit), Roy Tarmin (plesetan dari Roy Marten, diperankan Gading Marten)
Overall
Jangan ditonton kalau kamu berekspektasi ini adalah film detektif seperti kisah-kisah Sherlock Holmes atau bahkan action. Komedi dan nama-nama stand-up comedian yang muncul keroyokan masih menjadi jualan utama, hampir sama seperti Comic 8. Untuk mendapat impact maksimum, saya sarankan kamu menonton Partikelir sambil sedikit berpikir. Terlalu banyak joke, opini, dan kekesalan pribadi Pandji di film ini dan sepertinya ia berharap semuanya tersampaikan kepada penonton. Saya pribadi tidak pernah mengagumi Pandji sebagai komedian. Tapi sebagai seniman lumayan idealis yang dibarengi upaya marketing serta branding yang handal, usahanya membuat saya penasaran akan film ini patut diacungi dua jempol. Filmnya pun turns out sangat menghibur untuk seorang sutradara baru. Ditunggu film berikutnya, Bang!
12/03/18
[Review Film] TENGKORAK - Proyek Nekat Pak Dosen
Judul: Tengkorak
Tahun: 2018
Sutradara: Yusron Fuadi
Pemeran: Eka Nusa Pertiwi, Yusron Fuadi, Guh S. Mana
Nominasi Best
Science Fiction, Fiction, or Thriller di Cinequest Film Festival 2018,
Amerika Serikat (sumber: The Jakarta Post).
----
Bosan menghadapi rutinitas
makan-tidur-nelek-laptop di
apartemen, saya memutuskan mencari hiburan baru dengan mencari informasi
bioskop alternatif di Jakarta. Saya teringat pada Kineforum yang sudah saya follow di Instagram. Setelah lumayan lama membongkar website dari bioskop tersebut saya menemukan satu judul film yang
akan diputar, yang sangat menarik perhatian saya: Tengkorak.
Selain judulnya yang cukup
membuat tengkuk merinding, deskripsi dan trailer
film ini yang dipajang di website Kineforum
juga cukup membuat penasaran.
Rupanya Tengkorak adalah proyek ambisius seorang dosen untuk membuat sebuah
film science fiction dengan setting Indonesia. Oke, sampai di sini saya
berekspektasi film ini akan gokil dan penuh dengan bumbu kearifan lokal.
Yusron Fuadi, 35 tahun, sang
sutradara sekaligus penulis film ini memang saat ini masih berprofesi sebagai
dosen di Sekolah Vokasi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Ini adalah film
panjang (feature film) pertamanya,
setelah sebelumnya menyutradarai film pendek berjudul Sang Pendekar Kesepian.
Mengambil latar belakang peristiwa gempa
Jogja 2006
Tengkorak dibuka
dengan sedikit saduran dari peristiwa nyata di Yogyakarta yang baru saja
dilanda musibah gempa bumi tahun 2006. Pemerintah Indonesia menyatakan gempa
tersebut adalah bencana nasional. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa setelah
kejadian gempa tersebut ditemukan serangkaian tengkorak (rangka manusia) raksasa
berukuran 1.850 meter di Bantul, Yogyakarta. Sebuah video yang tersebar luas di
internet juga membocorkan bahwa telah dibangun fasilitas penelitian yang dijaga
ketat oleh tentara di sekitar situs penemuan tengkorak tersebut.
Setelah
beberapa lama merasa tidak ada gunanya lagi untuk berpura-pura, pemerintah
memutuskan untuk membuka rahasianya pada rakyat Indonesia. Balai Penelitian Bukit
Tengkorak (BPBT, bukan BPPT hehe) adalah jawaban dari desas-desus yang ramai
diperbincangkan masyarakat selama ini. Fasilitas penelitian ini dibangun
pemerintah Indonesia dengan bantuan beberapa negara lain.
Bagian awal film ini kebanyakan diisi dengan cuplikan berita dan
wawancara dari berbagai stasiun televisi di seluruh dunia. Di sini Pak Dosen
berusaha melebur batas antara sci-fi
dan dokumenter. Seperti saya duga, unsur-unsur kearifan lokal banyak sekali
dimasukkan di sini. Favorit saya adalah wawancara penjual makanan serta adegan
bapak-bapak nonton berita di TV warung. Dialog seperti “Jebule mung ngono thok!” dan “Telek!”
sudah siap mengisi porsi komedi sejak menit-menit awal.
Romansa pembunuh bayaran dan gadis kementhu
Belasan tahun kemudian
(2021), Ani (diperankan Eka Nusa Pertiwi),
seorang mahasiswi manis yang baru masuk magang di BPBT untuk memenuhi kebutuhan
uang kuliahnya, berjumpa dengan seorang profesor di BPBT bernama Philip dari
Amerika Serikat. Karena kopi yang disajikan di kantin rasanya seperti sampah,
sang profesor menyuruh Ani membeli beragam kopi Indonesia di Coffindo (ya,
memang iklan).
Di sisi lain, Yos
(diperankan pak dosen sendiri), dikisahkan sebagai seorang pembunuh bayaran
yang sehari-hari kerjanya main PS di sebuah gudang kemproh sembari menunggu calling-an
membunuh dari grup WhatsApp. Tim Kamboja adalah sebuah pasukan pembunuh yang
berisi orang-orang biasa dari berbagai kalangan di masyarakat. Kurang jelas
diceritakan siapa yang mendanai dan membentuk tim ini. Yang jelas, salah satu
target mereka adalah orang-orang yang bekerja di BPBT. Termasuk Ani. Sudah bisa menebak arah ceritanya? Hehe.
Memang di saat bersamaan, pemerintah
Indonesia mendapat tawaran menggiurkan dari PBB untuk menutup BPBT dengan
imbalan ratusan milyar USD dan dihilangkannya utang luar negeri. Ani mendapat
kabar dari rekan kerjanya di BPBT bahwa fasilitas penelitian itu perlahan
dikosongkan untuk kemudian didetonasi. Sedikit demi sedikit warga sekitar
dievakuasi. Semua peneliti juga diam-diam dibunuh oleh tentara untuk
menghilangkan jejak penelitian. Sampai di sini saya belum memahami mengapa Ani yang
masih magang dan kerjanya hanya jadi pembantu umum dan membuat kopi untuk para
peneliti harus dibunuh.
Layaknya Finn yang membelot dari
satuan Stormtroopers dan berjuang bersama Rey di Star Wars: The Force Awakens. Pak dosen, eh, Yos yang jatuh cinta
pada Ani menyelamatkannya dari usaha pembunuhan yang dilakukan Mila, salah satu
anggota Tim Kamboja, di kos-kosan Ani. Yos lantas membawa Ani pergi jauh dengan motor pinjaman.
Setelah beberapa jam kabur
sampailah Ani dan Yos di salah satu dari 32
menara pengawas BPBT. Menara itu mungkin setinggi Monas dengan bagian atas berisi 3 tingkat yang berlantai. Dikelilingi hutan lebat, menara itu berfungsi mengintai dan melibas siapapun penyusup yang masuk area terlarang. Di sana tinggallah seorang
bapak-bapak tentara sniper mesum (terlihat dari
banyaknya poster dan majalah bergambar wanita di kamar menara) bernama Jaka (diperankan pelukis
Guh S. Mana). Jaka memang sudah seperti
bapak bagi Yos. Mereka bertemu beberapa tahun silam di sebuah kerusuhan demo di
Surabaya. Yos, yang saat itu ikut menjadi pasukan nasi bungkus,
menyelamatkan Jaka dari hajaran massa. Sejak saat itu Jaka berutang nyawa pada Yos.
Ani masih merasa bingung. Hidupnya memang selamat. Tapi malah dibawa
oleh Yos ke dalam masalah yang lebih pelik. Tentu nyawanya masih diincar oleh
Tim Kamboja. Begitu pula Yos yang pasti sudah ketahuan membunuh rekan setimnya
sendiri demi cinta. Di menara sunyi itu Yos mengaku bahwa ia kesengsem sejak
melihat Ani dari atas menara yang hari itu baru masuk magang hari pertama di
BPBT.
“Rupamu ki kementhu!”
Begitulah kira-kira dialog yang masih terngiang-ngiang di telinga saya
sampai saat ini. Sebuah ekspresi “aku cinta kamu” yang absurd, tidak sopan,
tapi sekali lagi sukses membuat seluruh penonton terpingkal dari mulut seorang pembunuh
pada mahasiswi itu. Entah Ani jadi kepincut atau tidak…
Bagian romansa yang panjang ini (sejak Ani diselamatkan, kabur dengan
motor, ngobrol sepanjang perjalanan, mampir untuk berduaan di tepi sungai,
hingga adegan “rupamu kementhu” di
menara) meskipun saya akui apik dan natural, sayangnya sangat mengganggu flow keseluruhan. Saking panjangnya,
sampai saya kira Sang Tengkorak tidak akan pernah muncul dan film beralih
tentang kisah cinta Yos dan Ani. Mungkin Pak Dosen harusnya sedikit tega dalam
tahap editing untuk memotong bagian
ini. Atau mungkin perasaan saya saja…
Gelut di menara pengawas
Gagal dibunuh, Ani masih
diincar oleh Kamboja yang nekad mendatangi BPBT. Yos yang sudah terlanjur
kepalang tresno dengan Ani menghadang
mereka dan melakukan negosiasi. Saya akui adegan ini menjadi
salah satu favorit saya. Bayangkan negosiasi antara golok dan granat, ditambah
2 sniper masing-masing Om Jaka dari
atas dan anggota Tim Kamboja dari bawah menara. Dialog yang digunakan 90%
bahasa Jawa disertai pisuhan a la
Jogja –yang memang tidak cukup kasar jadi harus ditambah sedikit bumbu Jawa
Timur.
Setelah serangkaian negosiasi yang
sengit, tawar menawar harga drone,
serta adu tembak, Yos beserta beberapa anggota Kamboja yang datang mati terbunuh. Nyawa Ani selamat. Namun bukan berarti Ani bisa
tenang. Lek tenang ora dadi cerito.
Sebaliknya, ia semakin bingung apa
alasan sebenarnya dari usaha pembunuhan terhadap dirinya. Dari buku catatan yang dibawa Ani ke menara, Om Jaka menemukan serangkaian angka-angka yang ternyata adalah
koordinat sebuah tempat penting. Di sinilah petualangan sebenarnya dimulai. Rey
menyelamatkan galaksi bersama Han Solo Ani mengejar kebenaran bersama Om Jaka dan satu orang anggota Kamboja insaf yang masih hidup di atas
menara.
Koordinat dalam buku catatan itu mengarah pada rumah seorang penulis teori konspirasi
gila yang bisa menjawab semua pertanyaan di kepala Ani. Setelah berkonsultasi
dan sesi curhat, mereka menemukan fakta bahwa selama
ini Ani digunakan Prof. Philip untuk membocorkan informasi rahasia BPBT kepada CIA melalui kegiatan membeli kopi pesanan di Coffindo (iklan lagi). Sebuah sticky note di buku catatan yang selalu
diserahkan Ani ke barista ternyata berfungsi
sebagai file storage. Mungkin merasa
nyawanya terancam, sebelum dibunuh
Prof. Philip sempat mengirimkan paket barang kepada penulis itu berisi converter
“sticky note” tersebut ke USB port. Setelah riset-singkat-cocoklogi-kitab-suci semalam suntuk, terkuaklah rahasia bahwa Ani
harus mampu menghentikan detonasi BPBT, atau
suatu
hal buruk akan terjadi...
Awas, ini spoiler yang HQQ!
Setelah adegan persuasi dan
presentasi Ani yang menurut saya terlalu instan, Presiden RI (digambarkan adalah seorang wanita) yang bimbang
mengirimkan SMS pada seluruh orang di Indonesia. Isinya? Polling apakah BPBT sebaiknya didetonasi (Andai
pemilu semudah ini).
Tentu saja hal buruk itu tetap terjadi. Lek ora yo ora dadi cerito.
Benar saja. Setelah BPBT
didetonasi, si tengkorak yang terbakar api menyala-nyala bangkit dari tidurnya
dan menciptakan kekacauan di seluruh penjuru Indonesia. Adegan akhirnya? Si
tengkorak berperan
sebagai malaikat Israfil meniup terompet sangkakala yang berujung akhirnya
dunia. Inilah menit-menit akhir di mana semua pertanyaan dan rasa penasaran
saya dan penonton lain terjawab. Tengkorak itu ngapain sih? Tengkorak itu seperti apa wujudnya? Semua dijawab di adegan akhir tersebut.
Terlalu singkat memang. Judul boleh Tengkorak,
tapi kemunculan wujud Tengkorak mungkin tidak sampai 10% dari durasi total. Ada
dua kemungkinan. Satu, memang ini sengaja dimaksudkan Pak Dosen untuk membuat
penonton suspended dan penasaran
hingga ujung film. Dua, keterbatasan dana dalam membikin animasi. Entahlah.
Sampai akhir film saya juga masih bertanya-tanya apa sebenarnya penyebab
gempa Jogja 2006 itu. Tidak secara gamblang dijelaskan. Tapi saya menduga
itulah hari pertama Tengkorak diturunkan dari langit. Sekali lagi: entahlah.
Akhirat terasa dekat
Beragam emosi saya rasakan saat menonton film apokaliptik ini. Bingung, karena
banyaknya informasi dan opini yang dicampur baur dari berbagai cuplikan berita
dan wawancara “dokumenter”. Saya sempat “hilang arah” di tengah film dan
meraba-raba ke mana film ini mengarah. Mungkin juga saya yang lemah, terbiasa
dimanja sci-fi ringan seperti Transformers, hehe.
Bahagia, karena komedi dari berbagai dosis yang muncul di sana-sini.
Bahagia, melihat kegayengan Om Jaka dan Yos tampak nyata dari dialog yang amat
cair.
Penasaran, menunggu muncul dan terkuaknya rahasia Tengkorak hingga ujung
film.
Takut, mendengar sangkakala membahana yang ditiup oleh Tengkorak,
diikuti layar hitam yang membawa pikiran saya membayangkan hari akhir kelak.
Tidak seperti saat menonton film bertema apokalips lain yang dibikin di
Hollywood, Tengkorak yang ber-setting Indonesia tahun 2021, yang hanya
berjarak 3 tahun dari sekarang, membuat akhirat terasa makin dekat.
Dari segi teknis, saya salut dengan keseriusan pengambilan gambar Tengkorak. Dengan keterbatasan sumber daya, hingga molor-molornya periode syuting hingga 3 tahun, semua adegan dokumenter itu membuat saya kagum. Wawancara-wawancara di televisi itu tampak nyata, dengan semua ahli-ahli dari mancanegara. Setiap adegan yang menggambarkan kerusuhan dan demonstrasi, rupanya diambil dari peristiwa nyata. Dengar-dengar, tim produksi sempat siap memobilisasi massa UGM untuk demonstrasi, namun untungnya di UGM akan ada demonstrasi betulan. Kesempatan-kesempatan langka seperti itulah yang dimanfaatkan untuk mengambil footage, termasuk Aksi 212 lalu. Momen seperti Idul Fitri dan Idul Adha saat jalanan Yogyakarta sedang lengang juga dimanfaatkan untuk adegan jelang detonasi BPBT.
Mengenai menara, saya awalnya percaya menara itu betulan ada. Setelah melihat behind the scene di Instagram, rupanya, menara itu dibangun dari compositing bangunan-bangunan kecil yang direkam di area blue-screen. Masih banyak lagi efek visual yang digunakan dalam film ini, seperti dalam membangun tampak keseluruhan area BPBT dengan miniatur, jejak kaki raksasa, ledakan kantor BPBT, hingga kemunculan Sang Tengkorak sendiri.
Mengenai menara, saya awalnya percaya menara itu betulan ada. Setelah melihat behind the scene di Instagram, rupanya, menara itu dibangun dari compositing bangunan-bangunan kecil yang direkam di area blue-screen. Masih banyak lagi efek visual yang digunakan dalam film ini, seperti dalam membangun tampak keseluruhan area BPBT dengan miniatur, jejak kaki raksasa, ledakan kantor BPBT, hingga kemunculan Sang Tengkorak sendiri.
Sesi berbincang dengan produser dan ko-produser setelah film semakin membuat saya kagum pada film ini. Pak Dosen Yusron Fuadi memang mempunyai visi yang tegas sejak awal untuk menyelesaikan film ini di tengah kesibukannya. Sekali lagi, dengan keterbatasan sumber daya, keahlian, dan ilmu, ia dan tim produksi berhasil membuat film yang temanya muluk di awang-awang menjadi tampak nyata dan dekat dengan kehidupan kita.
---
Terlepas dari segala kekurangan di sana sini, terutama
di bagian editing, overall, saya sangat
terkesan. Dan saya berharap kalian juga sempat menonton film ini. Saya dengar,
mereka juga berencana memperjuangkan Tengkorak
untuk bisa masuk ke bioskop komersial. Semoga secepatnya!
Film ini diputar 9 Maret kemarin sebagai
pembuka dari program kerjasama Kineforum dan Kinosaurus (bioskop alternatif
lain di Kemang) bertajuk Sejarah adalah
Sekarang 9, serangkaian pemutaran film Indonesia dari
berbagai era dalam rangka Bulan Film Nasional (Maret) 2018. Tengkorak
sendiri masih akan diputar dua kali lagi, yaitu pada 18 dan 26 Maret mendatang. Kunjungi https://www.kineforum.org/single-post/Tengkorak untuk
informasi lengkapnya.
Langganan:
Komentar (Atom)
