Tahun 2013 silam, saya baru saja menjejakkan kaki di Bandung, kota
yang penuh sesak dengan kreativitas orang-orang yang tinggal di dalamnya. Kota
di mana budaya dan apresiasi berkembang pesat. Sejuknya seakan menggoda saya untuk mulai
berkarya (dan mengonsumsi karya).
Meskipun begitu, tentu saja aroma keringat dan terik matahari
di kampung halaman Surabaya masih melekat di ingatan. Memori tentang musik saya
di masa sekolah (selain paduan suara tentunya) yaitu pop punk, yang menurut saya sampai kapanpun akan menjadi kawan
setia para pecinta di masa muda dan pada usia senja nanti akan menjelma menjadi
secuil fase hidup menarik-perhatian-lawan-jenis yang layak diingat. Sebut saja
Blingsatan, salah satu pahlawan lokal Surabaya yang menjadi andalan saat
gitaran dan nge-band bersama kawan-kawan.
Ingatan lain yang saya bawa dari Surabaya adalah sebuah band
bernama Headcrusher. Lima orang serdadu thrash
metal yang kala itu (akhir 2013) baru saja merilis sebuah single bertajuk “Molotov”. Single ini masuk dalam sebuah kompilasi
Ronascent Compilation Vol. 1,
album kompilasi hasil kerja keras sekumpulan anak muda di Ronascent Webzine.
Saat itu saya belum banyak mengerti tentang musisi
Bandung-Jakarta, dan hanya berpegangan pada referensi dari Rolling Stone yang belum banyak saya baca. Saya kaget
dengan teman-teman saya yang menggemari musik indie yang seakan membuat mereka
lebih maju dari saya (nyatanya tidak). Saya masih ingat sore itu ketika mereka
berbondong mendatangi konser dirilisnya album Detourn milik The S.I.G.I.T, saya masih belum paham apa bagusnya
musik mereka (bahkan sampai saat ini). Namun hal itu membuat saya makin
penasaran apa sebenarnya yang membuat mereka sungguh senang dengan skena musik
di sana, mencoba menikmati, serta memainkan musik dengan cara saya sendiri.
Singkat cerita setelah
bergelut selama 2,5 tahun dengan kuliah, ludruk, dan musik di Bandung, seorang
sahabat merekomendasikan sebuah band yang menurutnya sangat layak untuk
didengar. Band yang sedang melejit namanya di ranah independen nasional.
Gelegar itu bernama Silampukau.
Ya, Silampukau.
Sepasang pujangga folk dari Surabaya, dengan gitar di pangkuan mereka, menyanyikan
keluh kesah orang pinggiran, tanpa basa-basi bercerita lugas namun tetap
puitis. Musik folk memang sudah lama akrab di telinga orang sini (Bandung dan
Jakarta). Namun bahasa Silampukau mengingatkan kita pada bahasa Iwan Fals dan
Gombloh yang naratif dan menggelitik. Cerita tentang dagangan miras yang tak
laku, macetnya bilangan Ahmad Yani Surabaya yang buas, hingga kisah pelacur dan
perselingkuhan di celah gang Dolly ada di album mereka Dosa, Kota, dan Kenangan. Semuanya didendangkan tanpa
ragu dan tak heran sukses menembus televisi seperti harapan mereka di lagu “Doa
1”. Namun lagu yang paling sukses meruntuhkan pertahanan kuping saya adalah
“Puan Kelana”. Rapinya rima dalam paduan bahasa Indonesia dan istilah-istilah
Prancis, mengemas kisah kesalnya seorang lelaki yang terpisah dari kekasihnya
yang merantau ke negeri Eiffel itu.
Ini yang sudah lama
saya nantikan. Gebrakan dari kampung halaman yang membuat semua orang menoleh
ke arah timur Pulau Jawa. Sebuah entitas asing yang membuat mereka tersihir.
Sajian sederhana dari kota pahlawan tempat saya dilahirkan dan dibesarkan dulu.