09/02/16

RekomeNdasmu #2: Destruction Unit - Negative Feedback Resistor [2015]

Ini salah satu album gratis yang bisa diunduh dari website Adult Swim yang kuceritakan kemarin. Negative Feedback Resistor dari Destruction Unit, unit penghancur dari Arizona yang menghantarkan suara-suara absurd berupa gitar psikedelia penuh feedback, vokal mabuk yang lirih mengawang, bass kotor seirama dram, dan sedikit synthesizer pelengkap nuansa destruktif. Si hipster Pitchfork bilang album ini lebih monoton dibanding album mereka sebelumnya, Void. Entahlah saya sendiri belum mendengarnya. Lebih baik saya nikmati dulu yang satu ini sembari menelan sop kaki kambing dan susu jahe telor.

Tautan unduhan
http://www.adultswim.com/music/destruction-unit/

Destruction Unit
Negative Feedback Resistor
Sacred Bones, 2015 



07/02/16

RekomeNdhasmu #1: Nebucard Nezar

Inginnya sih mulai hari ini menyempatkan mendengarkan satu lagu atau satu artis baru setiap hari, dilanjutkan dengan menulis dan merekomendasikannya via blog ini.

Siang yang cerah nan teduh hari ini mungkin dipesan oleh panitia Hellprint. Mungkin juga dipesan panitia ITB Day. Ya, setelah mengantar rombongan Loedroek main di dua panggung sekaligus hari ini di ITB Day (Aula Timur jam 10 dilanjut Aula Barat jam 12 tadi), mungkin ada baiknya pulang menyendiri dan mengutak-atik laptop sembari mengerjakan apapun yang bisa dikerjakan. Membikin akun Flickr untuk merapikan arsip-arsip dokumentasi Loedroek, menemukan album kompilasi bagus di website Adult Swim, mengunduh beberapa film, sembari mendengarkan Company Flow (hasil unduhan titipan Tarjo). Namun bukan itu semua yang ingin saya tahbiskan sebagai edisi perdana RekomeNdhasmu. Ada satu judul lagu yang tidak sengaja saya temukan di web unduhan ilegal: “Guik Guik Tanpa Lirik (Dangdut Death Metal)”. Band nggatheli ini bernama Nebucard Nezar (ya sudah jelas, pelintiran dari Raja Nebuchardnezzar).

Menahbiskan diri sebagai Ngapak Death Metal, band yang bersangkutan ini ternyata juga pernah meng-cover lagu-lagu Rhoma Irama, Didi Kempot, Via Vallen, sampai lagu okult “Tinggal Kenangan” dalam kurung Lagu Gaby. Berikut saya comot satu sampel cover dari Nebucard Nezar dari YouTube. Semoga band dengan duo vokalis jantan dan betina ini bisa mengawal rasa rindu Anda di Minggu long weekend menuju tahun baru Cina esok Senin. Cocok dinikmati sambil minum es garbis dan ngemil asinan mangga. Anyway, selamat menikmati!
  
Nebucard Nezar - "Broken Angel (Arash Cover)


Reverbnation:
https://www.reverbnation.com/nebucardnezar4/

03/02/16

Menulis Musik: #2 Gelegar Itu Bernama Silampukau




Tahun 2013 silam, saya baru saja menjejakkan kaki di Bandung, kota yang penuh sesak dengan kreativitas orang-orang yang tinggal di dalamnya. Kota di mana budaya dan apresiasi berkembang pesat.  Sejuknya seakan menggoda saya untuk mulai berkarya (dan mengonsumsi karya).

Meskipun begitu, tentu saja aroma keringat dan terik matahari di kampung halaman Surabaya masih melekat di ingatan. Memori tentang musik saya di masa sekolah (selain paduan suara tentunya) yaitu pop punk, yang menurut saya sampai kapanpun akan menjadi kawan setia para pecinta di masa muda dan pada usia senja nanti akan menjelma menjadi secuil fase hidup menarik-perhatian-lawan-jenis yang layak diingat. Sebut saja Blingsatan, salah satu pahlawan lokal Surabaya yang menjadi andalan saat gitaran dan nge-band bersama kawan-kawan.

Ingatan lain yang saya bawa dari Surabaya adalah sebuah band bernama Headcrusher. Lima orang serdadu thrash metal yang kala itu (akhir 2013) baru saja merilis sebuah single bertajuk “Molotov”. Single ini masuk dalam sebuah kompilasi Ronascent Compilation Vol. 1, album kompilasi hasil kerja keras sekumpulan anak muda di Ronascent Webzine.

Saat itu saya belum banyak mengerti tentang musisi Bandung-Jakarta, dan hanya berpegangan pada referensi dari Rolling Stone yang belum banyak saya baca. Saya kaget dengan teman-teman saya yang menggemari musik indie yang seakan membuat mereka lebih maju dari saya (nyatanya tidak). Saya masih ingat sore itu ketika mereka berbondong mendatangi konser dirilisnya album Detourn milik The S.I.G.I.T, saya masih belum paham apa bagusnya musik mereka (bahkan sampai saat ini). Namun hal itu membuat saya makin penasaran apa sebenarnya yang membuat mereka sungguh senang dengan skena musik di sana, mencoba menikmati, serta memainkan musik dengan cara saya sendiri.

Singkat cerita setelah bergelut selama 2,5 tahun dengan kuliah, ludruk, dan musik di Bandung, seorang sahabat merekomendasikan sebuah band yang menurutnya sangat layak untuk didengar. Band yang sedang melejit namanya di ranah independen nasional. Gelegar itu bernama Silampukau.

Ya, Silampukau. Sepasang pujangga folk dari Surabaya, dengan gitar di pangkuan mereka, menyanyikan keluh kesah orang pinggiran, tanpa basa-basi bercerita lugas namun tetap puitis. Musik folk memang sudah lama akrab di telinga orang sini (Bandung dan Jakarta). Namun bahasa Silampukau mengingatkan kita pada bahasa Iwan Fals dan Gombloh yang naratif dan menggelitik. Cerita tentang dagangan miras yang tak laku, macetnya bilangan Ahmad Yani Surabaya yang buas, hingga kisah pelacur dan perselingkuhan di celah gang Dolly ada di album mereka Dosa, Kota, dan Kenangan. Semuanya didendangkan tanpa ragu dan tak heran sukses menembus televisi seperti harapan mereka di lagu “Doa 1”. Namun lagu yang paling sukses meruntuhkan pertahanan kuping saya adalah “Puan Kelana”. Rapinya rima dalam paduan bahasa Indonesia dan istilah-istilah Prancis, mengemas kisah kesalnya seorang lelaki yang terpisah dari kekasihnya yang merantau ke negeri Eiffel itu.

Ini yang sudah lama saya nantikan. Gebrakan dari kampung halaman yang membuat semua orang menoleh ke arah timur Pulau Jawa. Sebuah entitas asing yang membuat mereka tersihir. Sajian sederhana dari kota pahlawan tempat saya dilahirkan dan dibesarkan dulu.

Menulis Musik: #1 Hidayah dari Orang Soleh (Solihun)





Keinginan untuk terus produktif selama liburan mulai menggerayangi saya di akhir perkuliahan semester 5 kemarin. Hal ini membuat saya ingin meneruskan hobi yang sesekali saya jalani selama ini: menulis, terutama menulis dalam mengapresiasi karya musik. Kesenangan menulis dan me-review musik memang baru saya lakukan di bangku kuliah, melalui menulis di blog (kunjungi di beruang-berat.blogspot.com). Tapi kegemaran menulis memang sudah seharusnya didahului dengan membaca.

Sejak SMP saya kerap membaca berita dan artikel musik. Diawali dengan majalah gitar seperti Kort, Gitar Plus dan Guitar World, lalu masuk ke majalah Rolling Stone Indonesia yang banyak menyinggung referensi ke karya-karya musik populer yang saya belum pahami kala itu (akhir-akhir ini saya membongkar gudang lagi untuk mencari koleksi Rolling Stone saya).

Hingga di bangku kuliah ini saya membeli buku karya Soleh Solihun, Kastana Taklukkan Jakarta. Buku berisi ‘curhat’ pengalaman Soleh sendiri yang disamarkan menjadi sebuah novel, mulai dari kecil hingga menjadi wartawan musik profesional, sampai saat ini menjadi stand up comedian ternama Indonesia. Ditambah lagi buku Soleh lainnya, Celoteh Soleh, pinjaman kawan saya, yang berisi kumpulan tulisan blog tentang hidup dan musiknya. Dari dua buku tersebut saya mendapat ilham untuk bisa menulis sendiri. Ditambah kebiasaan mendengarkan referensi musik dan menonton film dokumenter musik, rasanya sudah terpenuhi syarat sah saya untuk menekuni hal ini.

Kembali kegelisahan tentang produktivitas. Daripada sekadar mencorat-coret di blog, saya ingin mencoba hal baru untuk bisa terus mengembangkan kualitas dan jam terbang menulis. Selain itu yang paling penting, saya ingin tulisan-tulisan saya dinikmati lebih banyak orang dan terkenal HAHAHAHA